DARI ADAT KE POLITIK: TRANSFORMASI GERAKAN SOSIAL BUDAYA DI NUSANTARA


Jakarta, JENIUSLINE.- Memasuki tahun 2020, terjadi suatu fenomena yang mengejutkan banyak pengamat dan merombak peta perpolitikan di Indonesia, yakni: bangkitnya “masyarakat adat” —yang selama ini dianggap lemah dan terbelakang—sebagai suatu kekuatan politik tersendiri yang bergerak mandiri terpisah dari partai politik yang sudah ada maupun kelompok-kelompok progresif konvensional.

"Bukan cuma itu. Gerakan sosial masyarakat adat ini pada akhirnya menyiapkan diri untuk terjun ke politik formal dengan rencana membentuk Partai Nusantara Bersatu tanpa meninggalkan basis gerakan sosial budayanya, demikian disampaikan Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara Bersatu, KGPH Eko Gunarto Putro kepada wartawan seusai menghadiri diskusi bertajuk  "Strategi Gerakan Politik Masyarakat Adat Menuju Pemilu dan Pilpres 2024" di Pendopo Al-Hikmah, Cikarang, Jawa Barat.

Dengan menguraikan transformasi gerakan petani koka (cocaleros) di Bolivia menjadi Partai Movimiento al Socialismo (MAS) dan transformasi Konfederasi Masyarakat Adat Ekuador (CONAEI) menjadi Partai Movimiento de Unidad Plurinacional Pachakutik (MUPP), Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara Bersatu, KGPH Eko Gunarto Putro itu berusaha menjelaskan mengapa dan bagaimana fenomena ini terjadi, faktor-faktor sosial-politik apa sajakah yang memungkinkannya berlangsung?

"Selain itu, kita juga mencermati gerakan masyarakat adat di beberapa negara seperti Finlandia, Ekuador, Selandia Baru, Norwegia dan Swedia serta negara lainnya. Mereka telah menciptakan lembaga khusus untuk memastikan bahwa suara politik Masyarakat Adat di dengar oleh pemerintah," tambahnya.

Untuk bisa memahami transformasi tersebut, KGPH Eko Gunarto Putro berfokus pada tiga faktor utama: struktur kesempatan politik, struktur mobilisasi, dan proses pembingkaian. Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara Bersatu yang juga akrab dengan panggilan Kangjeng Eko berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendesak seperti apakah kebangkitan adat ini bersifat rasis dan tak sejalan dengan demokrasi, atau justru sebaliknya?

Kangjeng Eko kepada JENIUSLINE menjelaskan bagaimana caranya partai yang berbasiskan masyarakat adat bisa merengkuh sektor-sektor lain dalam masyarakat yang kian modern? Apakah keberadaan partai masyarakat adat adalah bagian dari keberagaman atau bertentangan dengannya? Kangjeng Eko berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat relevan untuk direfleksikan dengan kondisi Indonesia sendiri saat ini.

Menurut Kangjeng Eko, sejak Reformasi, publik menyaksikan bagaimana masyarakat adat sudah masif. Tapi hasilnya, belum signifikan. "Sekalipun sejak Suharto lengser tahun 1998, berbagai masyarakat adat telah terang-terangan dan vokal menuntut penerapan adat setempat di daerahnya masing-masing. Namun, sayangnya berbagai tuntutan masyarakat adat atas Tanah Ulayat warisan nenek moyang masih terkatung-katung," katanya.

Karena itulah, kata Kangjeng Eko, selama lima belas tahun terakhir, gerakan masyarakat adat telah menjadi semakin sistematis dan komprehensif. Sehingga, gelombang kebangkitan gerakan masyarakat adat telah bertransformasi secara signifikan.

"Selain memilih jalan politik non-elektoral (politik non-konvensional) seperti blokade, demonstrasi maupun petisi, masyarakat adat pun perlu memilih jalur politik elektoral (politik konvensional) seperti partai politik, parlemen dan pemilu, yang dikenal sebagai double movements dalam proses demokrasi," pungkas Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara Bersatu, KGPH Eko Gunarto Putro. (az).




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT. CITRA SAMUDERA RAYA MEMASUKI TAHUN EMAS 2020👍❤🇮🇩🙏

TEKNIK ZIKIR PASRAH DIRI (TAWAKAL) UNTUK PENYEMBUHAN DIRI SENDIRI 🙏

THERAPY ala Nabi SAW di RUMAH SEHAT AL-HIKMAH : Gratis KONSULTASI Spiritual 🙏