YUK...KITA MENGEDEPANKAN SPIRITUALITAS ISLAM DALAM MENGHALAU CORONA KE ASALNYA 🙏
Jakarta, SKJENIUS.COM.- Alhamdulillah 🙏 Masih banyak ‘Ulama di Nusantara yang Berani menyatakan tentang pentingnya akrab dengan spiritualitas dan Shalat di Masjid dalam menghadapi wabah Corona ini. Karena itulah para ‘Ulama Aceh, Sampang - Madura, Kota Bengkulu dan Cikarang-Jawa Barat mengajak Umat untuk melaksanakan Ibadah, Shalat Tarawih, Zikir, Tilawah Qur’an dan Berdo’a kepada Allah di Masjid.
Pasalnya, Beliau-Beliau itu Paham dan Meyakini bahwa Masjid adalah Tempat Terbaik di dunia. Namun demikian tentu saja tidak melupakan pentingnya menjaga dan merawat kesehatan. Karena itulah ada Protokol Kesehatan yang harus dipatuhi oleh mereka yang ingin beribadah di Masjid, seperti Memakai Masker, Mencuci Tangan, Physical Distancing, tidak berkerumun dan lain sebagainya sesuai anjuran Pemerintah atau Dinas Kesehatan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya”, karena masjid adalah rumah ketaatan dan asas pondasinya adalah ketakwaan. Sedangkan maksud “dan bagian negeri yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya”, karena pasar adalah tempat kecurangan, penipuan, riba, sumpah dusta, mengingkari janji, tidak berzikir, dan perbuatan lain yang semakna dengannya. . .” (Lihat Syarah Muslim li al-Nawawi no. 671).
Masjid Tempat Terbaik di Bumi. Tentu tidak bisa disamakan Pahala Ibadah di Masjid dan di Rumah kita masing-masing. Tidak bisa disamakan Kualitas Ibadah Berjamaah di Masjid dengan sendirian di Rumah. Bahkan, Guru Mursyid kita, Allahyarham Syaikh Inyiak Cubadak dan KH Abdurrahman Siregar menegaskan Kekuatan Do’a di Masjid adalah 1000 kali Lebih Kuat Energynya di bandingkan di rumah masing-masing. Karena itulah peluang keterkabul do'a di masjid lebih besar di banding di rumah sendiri. Sehubungan dengan hal itulah Beliau senantiasa menganjurkan kita untuk I’tikaf di Masjid jika ingin Memohon Petunjuk, Pertolongan, Minta Solusi dan Penyembuhan Penyakit pada Allah.
Apalagi Beribadah Tanah haram (Makkah dan Madinah) adalah tempat yang mulia. Di antara kemuliaannya adalah akan dilipatgandakan pahala shalat di masjid di tanah tersebut. Khusus untuk tanah haram di Makkah, kita ketahui bahwa pahala shalat di Masjidil Haram adalah 100.000 kali dari shalat di masjid lainnya.
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.)
Karena itulah siapapun yang mengusik masjid alias rumah Allah maka tergolong sebagai pengikut Abrahah (dengan tentaranya bergajah), yang telah dihinakan dengan dihancurkan oleh Allah Ta’ala karena mereka mau menghancurkan Ka’bah Baitullah (Rumah Allah) di Makkah. Tragedi dihancurkannya Abrahah dengan wadyabalanya yang berkendaraan gajah itu diabadikan dengan Firman Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an Surat Al-Fiil. Maka siapa saja yang coba-coba mengikuti jejak mereka, pasti akan memperoleh kehinaan di dunia dan akherat.

Nah, para Ulama yang menjadikan Islam sebagai Way of Life tentu saja berupaya melaksanakan Islam secara Holistik (Kaaffah), yakni berislam secara Legal-Ritual-Spiitual dan Aktual. Belia-beliau inilah yang Mengingatkan kita semua Penting dan Perlunya kita mengedepankan sisi spiritualitas kita dalam situasi seperti ini. Apalagi bagi umat Islam yang mulai hari ini sudah memasuki bulan Ramadhan. Satu fasilitas mewah dan penuh Berkah serta Rahmat-Nya yang bisa kita optimalkan tidak semata menjalani kegiatan di rumah saja, tapi kita I’tikaf di Masjid, semoga semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai manusia yang beragama, seharusnya menghadapi suatu penyakit secara holistik (menyeluruh). Penyakit, apapun jenisnya, khususnya penyakit menular seperti virus Corona tidak bisa didekati secara parsial. Tidak cukup hanya menggunakan pendekatan medis semata. Sebaliknya, tidak pula hanya dengan pendekatan rohani (spiritual). Tidak seharusnya kalangan medis menyebut bahwa virus Corona yang menyebar kemana-mana semata karena murni gaya hidup manusia.
Demikian juga sebaliknya, klaim sepihak dari kaum agamawan bahwa ini merupakan kutukan Tuhan bagi para pendosa. Dua perspektif tersebut harus ditempatkan secara tepat. Suatu penyakit, sebesar apapun dampaknya, harus dilihat dari dua konteks kehidupan. Manusia yang hidup di alam nyata, alam fisik dan wujud, harus diterima dan sangat mungkin menjadi sebab timbulnya suatu penyakit. Namun, bahwa ada unsur The Other, ada bion yang juga sangat mungkin mempengaruhi kehidupan manusia, termasuk wabah penyakit.
Karena itulah kita perlu memahami Islam secara Holistik. Sehingga kita dapat menemukan dan merasakan bahwaIslam mempunyai peran yang cukup penting dalam menghadapi segala aspek kehidupan. Dalam situasi apapun, kegiatan keagamaan menjadi wujud dari eksistensi komunitasnya. Terutama dalam usaha kita menghalau wabah coronavirus itu kembali ke asalnya.
Seiring dengan itu, kita pun perlu menyadari dan memahami, bahwa sebagian Besar dari kita hari ini belumlah berupaya untuk Berislam secara Kaffah. Sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur'an : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah).” (Al-Baqarah: 208)
Mungkin mereka beragama baru sebatas RITUALITAS tanpa SPIRITUALITAS, karena itu Ibadahnya pun sebatas RUTINITAS, Shalat pun sekadar FORMALITAS. Sehingga Do’anya pun TAK BERKUALITAS Untuk MENUMPAS Corona. Nampaknya Mereka cenderung beragama hanyalah sekadar formal legalistik semata. Berusaha memberlakukan “Aturan” Agama secara ketat, namun melupakan ”jiwa” dari Dien Islam itu sendiri.
Itulah sebabnya orang yang formal legalistik itu biasanya berkepala batu, sok merasa benar asal sudah bisa menemukan dan mengutip hukum atau aturan yang tertulis. Herannya, orang legalistik kadang pintar mengelak kala aturan itu dikenakan pada diri mereka sendiri. Mereka memang mengutamakan penampilan saleh dan taat pada hukum Allah, namun hati mereka keras padas, jauh dari kelembutan dan kasih sayang. Orang semacam ini membuat agama tampil garang dan mengerikan.
Agama mereka pisahkah dari spiritualitas. Inilah penyakit orang Farisi pada zaman Nabi Isa a.s . Orang-orang Khawarij di masa Khulafaur Rasyidin dan juga ”orang Farisi” pada zaman kita serta kaum Wahabi yang suka Membid’ahkan, Menilai Sesat, bahkan Mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan kelompok mereka. Karena itulah Kajian Islam mereka sebatas Memperdebatkan Tujuh perkara, yakni :
- Wajib - Sunnah - Makruh dan Mubah,
- Halal - Haram,
- Surga - Neraka,
- Pahala - Dosa,
- Bid’ah, Sesat, Kafir,
- Khilafah sebagaimana ditafsirkan para Imam mereka.
Padahal, tanpa spiritualitas, Islam menjadi kering dan kehilangan kemanusiawiannya. Tanpa spiritualitas, orang akan hidup di bawah hukum sebagaimana difahami oleh imam mereka masing-masing dan bukan di bawah kehendak (Iradat Allah). Sehingga banyak diantara mereka menyalahgunakan hukum Allah, dan memakainya untuk menindas sesama, bukan memberkati mereka. Bahkan, hukum agama pun mereka “jual” demi kepentingan diri, kelompok maupun partai politik yang mereka dukung. Semoga kita tidak termasuk di antara mereka. (az).
Komentar
Posting Komentar