PERLU PARPOL UNTUK MENINGKATKAN GERAKAN PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT LEWAT POLITIK



Jakarta, JENIUSLINE.- Pola pembangunan ekstraktif berbasis lahan berskala luas adalah penyebab utama marjinalisasi masyarakat adat. Pola pembangunan tersebut ditopang oleh politik hukum agraria yang memarjinalkan hak masyarakat adat, sehingga dalam tingkat operasional terjadi aksi perampasan lahan (land grabbing) tanah-tanah adat skala luas. Hampir 25 Tahun Perjuangan Masyarakat Adat, Namun Pemerintah Belum Tunjukkan Komitmen. Karena itu, sudah waktunya Digerakkan Peningkatan Perjuangan Masyarakat Adat Lewat Politik.

Demikian disampaikan Ketua Umum Persemakmuran Pewaris Nusantara KGPH Eko Gunarto Putro dalam Sarasehan bertajuk “Memperkuat Gerakan Politik dan Kebudayaan Melalui Politik Electoral dengan Pembentukan Partai Nusantara Bersatu” yang diselenggarakan Dewan Perancang Partai Nusantara Bersatu di Pendopo Al-Hikmah, Cikarang, Jawa Barat. “Masyarakat adat di berbagai daerah sering dilangkahi pengusaha dan tanah milik mereka dikuasai. Alasannya: pembangunan. Kini mereka harus menuntut balik melalui jalur hukum dan Politik,” imbuh Kangjeng Eko.

Menurut Kangjeng Eko, Nasib masyarakat adat sudah lama terancam. Derap pembangunan dan ambisi industrialisasi telah lama "membungkam" mereka. Lembaga adat, yang merupakan warisan masyarakat tradisional, juga tidak memiliki peluang untuk mengaktualkan diri. Sesekali lembaga adat dirangkul oleh aparat--misalnya menjelang pemilihan umum--dan ditampilkan ke depan. Tapi, setelah tidak diperlukan, lembaga ini pun terlupakan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Persemakmuran Pewaris Nusantara mengajak Para Aktivis Pemebela Masyarakat Adat, Organisasi dan LSM yang Peduli Kepada Perjuangan Masyarakat Adat untuk mendirikan Partai Nusantara Bersatu sebagai Wadah Perjuangan Bersama dalam menuntut atas Tanah Ulayat yang dikangkangi pengusaha tanpa ada penyelesaian yang berlarut-larut.

“Sebagai contoh Masyarakat Kenegerian Siberakun Kembali Tuntut PT DPN Kembalikan Hak Ulayat mereka. Ratusan masyarakat mendatangi kantor Bupati Kuantan Singingi, Selasa, 28 Januari 2020. Kedatangan mereka melanjutkan perjuangan menuntut hak tanah ulayat mereka seluas 787,5 hektar yang sekarang dikuasai PT. Duta Palma Nusantara ( DPN ) ini mendapat pengawalan ketat dari pihak kepolisian,” papar Kangjeng Eko. 

Lebih lanjut Kangjeng Eko mengingatkan, selama lebih dari 50 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh pemerintah berasal dari eksploitasi dan ekspor kekayaan sumber daya alam perairan dan hutan. Eksploitasi ini seringkali merugikan masyarakat adat, yang telah menempati kawasan yang kaya akan sumber daya alam tersebut sejak dulu, dan tidak sesuai dengan hukum adat setempat.

“Meskipun ada perbaikan dalam pengelolaan hak tanah masyarakat adat berkat usaha para aktivis, politisi, media, dan pejabat pemerintah, termasuk presiden Indonesia, masih panjang perjuangan untuk mengembalikan pengelolaan hutan adat dan tanah ulayat lainnya, terutama di tengah kebijakan yang kontradiktif dan rumit,” tegasnya.

Padahal, kata Kangjeng Eko, sebuah opini legal di tahun 2013 dari Mahkamah Konstitusi Indonesia membuka kesempatan bagi masyarakat adat untuk merebut kembali Hak Tanahnya. Namun demikian untuk memperjuangkannya diperlukan kekuatan politik. “Padahal, berdasarkan pengalaman di Indonesia dan belahan dunia lain, hal ini akan membawa dampak baik bagi hutan dan iklim: hutan yang dikelola oleh masyarakat adat menunjukkan deforestasi yang lebih rendah,” kata Kangjeng Eko. 

Namun sayangnya, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan di berbagai provinsi, nampaknya belum mengakomodir kepentingan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan.  Konflik perebutan ruang kelola masyarakat dengan perusahaan baik perkebunan maupun kehutanan masih saja terjadi. Pasalnya, sebagiannya adalah tanah milik masyarakat adat.

“Tingginya konflik ini disebabkan oleh adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) dengan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skala besar perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan penguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal ( hak hak tenurial atas tanah dan sumber daya alamnya, beserta hak hak tradisionalnya),” tegas Ketum Persemakmuran Pewaris Nusantara itu.

Selanjutnya Kangjeng Eko menyebutkan contoh Tanah ulayat di Riau yang notabene milik masyarakat hukum adat, telah lama diketahui banyak yang berkonflik dengan perusahaan karena tidak ada perlindungan yang jelas oleh pemerintah terhadap hak atas tanah atau lahan. Artinya pemerintah belum mengakomodir hak-hak masyarakat dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung mendukung investasi skala besar saja.

“Karena itulah kita perlu membangun kekuatan Partai Politik agar bisa memperjuangkan hak masyarakat Adat melalui jalur Legislatif, mulai dari Tingkat II, Provinsi sampai DPR Pusat. Melalui Jalur Politik kita bisa bergerak dalam jalur Politik Elektoral. Sehingga diharapkan masyarakat adat bisa menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing,” pungkas Kangjeng Eko. (az).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT. CITRA SAMUDERA RAYA MEMASUKI TAHUN EMAS 2020👍❤🇮🇩🙏

TEKNIK ZIKIR PASRAH DIRI (TAWAKAL) UNTUK PENYEMBUHAN DIRI SENDIRI 🙏

THERAPY ala Nabi SAW di RUMAH SEHAT AL-HIKMAH : Gratis KONSULTASI Spiritual 🙏